Senin, 31 Mei 2010

Kesamaan Sikap Istana dan Kepolisian Terhadap Penegakan Hukum

Telah berkali-kali metro-tv dalam editorialnya mengingatkan, hei hati-hati media dan publik, jangan sampai kasus senturi tenggelam oleh pemberitaan dan perhatian masyarakat terhadap euvoria kasus Gayus dan sekarang bergeser pada perseteruan antara Syahril Djohan dan Susno Duaji. Terakhir metro-tv menyoroti penetapan Misbakhun, anggota DPR dari PKS sebagai tersangka kasus LC fiktif oleh kepolisian. Status tersangka anggota DPR untuk diperiksa, menurut undang-undang harus ada persetujuan Presiden. Dalam waktu relatif singkat persetujuan Presiden pun diperoleh.

Terus terang dengan penyikapan yang sangat berbeda yang diperlihatkan baik pihak kepolisian maupun istana terhadap kasus bank century dan LC fiktif ini, tentu akan mengundang berbagai pertanyaan dari masyarakat. Kenapa kesigapan kepolisian dan istana dalam menangani kasus LC fiktif bukannya diberikan apresiasi, tapi justru dipertanyakan ?

Dipertanyakan, boleh jadi dalam penanganan kedua kasus tersebut, kepolisian maupun pihak istana keliru dalam menentukan skala prioritas, mana kasus yang pantas lebih didahulukan, bank Century atau kasus LC fiktif Misbakhun? Pada kenyataannya justru yang mendapatkan respon lebih cepat adalah kasus LC fiktif. Padahal dari aspek pemberi rekomondasi, mestinya kasus century yang lebih didahulukan. Kenapa? Century berawal dari pemekriksaan BPK bahwa penggelontoran dana untuk penyelamatan bank Century diindikasikan bermasalah. Temuan BPK ini direspon oleh beberapa anggota dewan untuk membentuk Pansus Bank Century dan berhasi terbentuk dan hasilnyapun telah diketahui masyarakat luas yaitu memberikan rekomondasi kepada pemerintah untuk menon aktifkan Budiono dan Srimulyani untuk kebutuhan penyelidikan atas dugaan penyalahgunaan wewenang sebagai Gubernur BI dan Menteri Keuangan pada kebijakan bail-out bank Century. Bagaimana dengan respon istana terhadap kasus Century ini? Masyarakat pun sudah tau lewat isi pidato monumental SBY yang dikenal dengan sebutan ‘’ Pidato Pembelaan Istana’’.

Memang harus kita akui bahwa kasus bank Century seakan hilang tertelan bumi. Sampai-sampai para inisiator pansus tersebut rada-rada frustrasi. Sebenarnya tidak ada alasan institusi penegak hukum kita untuk tidak mengusut kasus tersebut walau melibatkan Wakil Presiden dan salah satu menteri. Karena rekomondasi bahwa kebijakan bail-out Century bermasalah tidak lahir dari organisasi jalanan, tapi dari lembaga Negara ( BPK dan DPR ) yang cukup dipercaya. Validitas datanya cukup akurat. Investigasi anggota pansus juga sudah diketahui lewat tayangan langsung media TV. Indikasi bermasalah sudah cukup jelas. Bandingkan dengan masalah LC fiktif yang melibatkan Misbakhun. Cepat sekali direspon oleh kepolisian. Pihak istana pun, tanpa resistensi SBY langsung menandatangani persetujuan untuk pemeriksaan Misbakhun (anggota DPR) sebagai tersangka. Padahal ikhwal LC fiktif ini bersumber dari staf ahli Presiden ( Andi Arief ) yang membidangi tentang penanggulangan bencana. Disaat korban bencana banjir, gempa sangat membutuhkan kehadirannya di tengah-tengah tenda pengungsian, mala Andi Arief grusa-grusu kesana kemari membawa dokumen LC fiktif yang melibatkan anggota DPR Misbakhun. Dan ironinya, justru polisi lebih merespon fakta yang dikedepankan oleh Andi Arief ketimbang BPK dan DPR. Apa karena Misbakhun salah satu inisiator pembentukan pansus century ?

Kalau kita mencermati penyikapan istana terhadap kasus LC fiktif yang melibatkan Misbakhun dan penyikapan kepolisian terhadap mafia kasus Gayus yang diendus pertama kali oleh Susno Duaji memiliki kemiripan. Istana lebih respon untuk memproses kasus Misbakhun sebagai salah satu inisiator pembentukkan pansus Century ketimbang kasus bail-out bank Century yang melibatkan Budiono dan Srimulyani. Demikian pula dengan pihak kepolisian, bukannya memberikan perlindungan terhadap Susno Duadji karena kebehasilannya dalam membuka mafia hukum yang melibatkan lintas institusi penegak hukum kita, tapi malah dimusuhi dan dicari-cari kesalahannya. Bahkan sampai terjadi drama pembawaan paksa ke Mabes Polri dari Bandara Sukarno saat Susno mau cek-up ke Singapura. Kesamaan ini lagi-lagi pasti akan memunculkan pertanyaan, apakah ini secara kebetulan mirip, atau ada skenario besar untuk menyembunyikan mafia yang lebih dasyat lagi selain yang sudah diungkapkan oleh Susno Duadji? Ko kenapa pihak istana diam seribu bahasa, tanpa ada sepatah katapun pembelaan terhadap pak Susno? Padahal apa yang dituduhkan pak Susno ada mafia hukum di Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman bukan isapan jempol. Yang semula ketiga institusi ini ramai-2 membantah, sok sucilah dan pada akhirnya pertahanan mereka juga jebol. Kebusukan mereka mulai terkuak dan sesuai dengan apa yang dituduhkan ole pak Susno. Jangan ada dusta antara pemerintah dan rakyat. Rakyat ingin sekali korupsi di negeri ini dienyahkan. Sekaranglah saatnya untuk memulai memberantas korupsi. Tunggu apalagi pak SBY?

DPR, Dewan Perampok Rakyat?

Pagi hari Sabtu minggu kemarin, ulasan editorial Media Indonesia di MetroTV lagi-lagi membuat miris hati masyarakat. Terkuak lagi ulah para anggota dewan yang terhormat yang sangat mengusik rasa ketidak adilan. Saat masyarakat tengah susah payah untuk keluar dari himpitan berbagai persoalan hidup. Tanpa malu-malu, dalam rapat yang hanya dihadiri ± 200 anggota dari 550 anggota dewan, mengajukan anggaran kepada pemerintah agar setiap anggota dewan diberikan dana sebesar 15 milyar. Konon kabarnya dana ini akan diperuntukkan kepada masyarakat (konstituen mereka) yang belum mendapatkan kue pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Kalau munculnya ide pengajuan ( baca minta-minta ) anggaran hanya dilatar belakangi oleh temuan mereka saat kunjungan di daerah, dimana ditemukan masih banyak masyarakat yang belum menikmati hasil pembangunan. Mestinya yang dilakukan adalah optimalkan fungsi kontrol mereka terhadap penggunaan anggaran oleh pemerintah dalam melakukan pembangunan. Giring pemerintah ke arah pembangunan yang benar-benar hasilnya dapat langsung dinikmati oleh masyarakat. Tidak perlu minta. Rakyat pasti tidak percaya bahwa uang sejumlah itu akan disalurkan seluruhnya ke masyarakat. Paling separuh yang disalurkan dan yang separuhnya dideposit untuk persiapan pemilu 2014.

Pengajuan anggaran oleh anggota dewan yang dilansir oleh Media Indonesia adalah semakin memperkuat kebenaran anggapan bahwa anggota dewan sekarang ini hanya memikirkan dirinya, kelompok /golongannya, partainya, dan sesama partai koalisi. Urusan rakyat? nanti setelah dekat pemilu baru mendapat prioritas utama. Perdebatan sengit menyangkut kepentingan rakyat di sidang-sidang dewan hanyalah sebuah suguhan sandiwara belaka. Lihat kasus Century. Milyaran dana habis untuknya. Sidang-sidang pansusnya tidak kalah sengitnya. Tapi penyelesaiannya semakin tidak jelas. Partai-partai koalisi, yang dulu sangat getol untuk membuka kasus Century secara terang benderang, kini diam membisu, sepi komentar. Mungkin terbungkam oleh terbentuknya SEKBER partai koalisi ala Cikeas dengan ketua hariannya adalah Aburizal Bakri, Ketua umum Golkar dan merupakan seteru mantan Menteri Keuangan (Sri Mulyani).

Jika kita runut balik menjelang dua tahun mereka menjadi aleg yang terhormat di Senayan, terdapat beberapa sikap yang cukup mengusik rasa ketidak adilan masyarakat. Pertama, mereka bungkam saat pemerintah menggelontorkan dana untuk acara pelantikan mereka sejumlah 46 milyar rupiah (jika dibagi 70 juta/orang). Padahal saat itu, korban gempa di Tasikmalaya masih hidup di bawah tenda-tenda pengungsian. Kedua, lagi-lagi bungkam saat pemerintanh membagi-bagikan mobil dinas yang harganya 1,2 milyar kepada para menteri dan para ketua dan wakil ketua MPR, DPR dan DPD. Satu-satunya pejabat yang masih memiliki hati nurani adalah La Ode Ida, wakil ketua DPD RI. Beliau mengembalikan fasilitas ini ke negara dengan alasan bahwa tidak pantas saya mengenderai mobil semewah ini sementar konstituen yang memilih saya justru masih hidup memprihatinkan. Ketiga, ngotot untuk merenofasi gedungnya yang masih megah dan kokoh dengan anggaran selangit ( Rp 1,8 t riliun ).

Kalau sikap anggota dewan yang demikian, telah mereka pertontonkan sebelum dua tahun menjadi aleg, apakah ada jaminan tahun-tahun mendatang tidak akan bersikap yang dapat mengusik keadilan masyarakat? Pembuktiannya, kita tunggu nanti sikap mereka terhadap wacana pemerintah untuk pembatasan premium bagi pengendara roda dua bulan Agustus mendatang.

Senin, 24 Mei 2010

Mencari Kambing Hitam, di Balik Kegagalan Peserta UN

Isu Gayuspun belum mereda dari pemberitaan media, kini giliran kegagalan UN jadi sorotan. Korelasi antara kenaikan dana pendidikan dan tingkat kelulusan yang berbanding terbalik, banyak dipertanyakan oleh berbagai pihak. Semestinya jika dana pendidikan naik, maka tingkat kelulusanpun harus naik. Kalimat inilah yang muncul menyertai pengumuman hasil ujian nasional haris Senin yang lalu. Karena kenyataannya, tidak seperti yang diharapkan. Tingkat kelulusan tahun ini justru menurun sekitar 5% bahkan ada beberapa sekolah siswanya 100% tidak lulus.

Bagi pihak yang kurang mengetahui persis bagaimana rumit dan susahnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pasti rumusan bahwa “dana pendidikan meningkat akan diikuti peningkatan kualitas pendidikan” diamini 100% kebenarannya. Ini adalah buah dari paradigma transaksional yang segalanya dapat ditukar dengan uang. Sehingga muncul asumsi bahwa semua persoalan apapun dapat diatasi dengan uang. Akibat dari paradigma ini, sorotan publik terhadap penurunan tingkat kelulusan dikaitakan dengan peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sangat tinggi.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dengan uang, segala urusan jadi lancar. Tapi dalam hal untuk peningkatan kualitas pendidikan, tidak seratus persen benar. Apalagi dengan penerapan Ujian Nasional dianggap sebagai salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan, sehinngga harus dipertahankan ditengah arus gelombang protes publik. Jauh… …jauh panggang dari api. Lalu, kalau demikian apa UN harus ditiadakan? Apa anggaran pendidikan harus ditingkatkan lagi lebih 20% dari APBN?Apa semua guru-guru harus diberikan laptop supaya nda gaptek, tidak ketinggalan dari murid-muridnya? Apa…………? Apa…………? Untuk saat ini, indikasi kualitas pendidikan masih dikaitakan dengan tingkat kelulusan secara nasional. Tingkat kelulusan meningkat, berarti kualitas pendidikan meningkat. Sebaliknya tingkat kelulusan menurun, kulitas pendidikan menurun. Inilah kenyataan yang harus kita terima tahun ini, tingkat kelulusan UN menurun, publikpun otomatis menuding bahwa kualitas pendidikan menurun disaat pemerintah gencar menaikan anggaran pendidikan.

Yang menjadi problem sebenarnya adalah proposional kita dalam menilai apa penyebab sesungguhnya membuat tingkat kelulusan nasional tahun ini menurun? Biasanya korban yang tidak lulus (ortu siswa/i) adalah pihak pertama yang melontarkan tuduhan serampangan keberbagai pihak pada posisi yang salah tanpa melakukan intropeksi diri. Guru tidak becus mengajar, pemerintah juga tidak becus, UN tidak pantas dijadikan ukuran kelulusan siswa, tidak lulus karena sering ke warnet (opini wikimu oleh……..), ngeluyur ke kak Seto (Komnas anak), dan masih seabrak cara mencari kambing hitam sebagai wujud pelampiasan kekecewaan atas kegagalan anaknya.

Langkah untuk mendudukan persoalan yang sebenarnya, terkait dengan kulitas pendidikan nasional perlu dirubah. Menyalahkan satu sama lain, terutama kepada pihak operasional sekolah (para kepala sekolah dan guru) sudah harus ditinggalakn. Sudah saatnya untuk transparan dalam menungkap kendala-kendala yang sebenarnya sebagai faktor penghambat dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Terutama kendala dan hambatan yang terdapat pada : 1) Pemerintah (Penyandang dana terbesar), 2) Guru (Tenaga operasional pendidikan), dan 3) Masyarakat (Orang tua sisw/i). Kendala dan hambatan pada ketiga komponen ini yang perlu dirajut, sehingga akan menemukan solusi jitu yang dapat meningkatkan sinerji ketiga unsur penopang pendidikan nasioanal kita.

Pemerintah, walaupun dengan segala kontroversinya mempertahankan pelaksanaan ujian Nasional, juga harus diapresiasi yang telah menaikan anggaran pendidikan sebesar 20 % APBN. Kenaikan anggaran ini, penggunaannya di lapangan perlu kontrol ketat untuk meminimalisasi kebocoran- kebocoran (ingat, kebocoran anggaran menurut sinyalemen mendiang Prof. Sumitro tiap tahun mencapai 20 sampai 30 %). Skala prioritas penanganan juga harus dilakukan. Seperti pemenuhan sarana prasarana pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru, peningkatan kualitas guru, yang ketiga parameter ini diakui sebagai faktor penunjang utama. Untuk menentukan mana yang lebih didahulukan, butuh pemikiran dari kalangan pakar berbagai disiplin ilmu. Jangan seperti sekarang, pemerintah lebih memprioritaskan pelaksanaan UN. Pada sisi lain, program sertifikasi yang selalu dibangga-banggakan sebagai keberhasilan pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan guru, justru banyak menyisakan berbagai masalah di lapangan.

Memang diakui, selama ini guru adalah sebuah profesi yang termarjinalkan. Rela dan pasrah atas julukan pemerintah sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Atas julukan ini, masyarakat bahkan pemerintah terlalu banyak menuntut kewajiban sebagai seorang guru, tapi hak mereka sebagai imbalan kewajiban yang mereka tunai kadang terabaikan. Namun dengan berlakunya UU Guru dan Dosen, suatu bukti bahwa pemerintah cukup serius memperhatikan profesi guru. Tapi masih ada hal-hal yang harus dibenahi. Peningkatan kualitas guru misalnya, masih bingung untuk menentukan dari titik mana memulai. Peningkatan kesejahteraan guru, baru dinikmati sebagian kecil guru (sebatas yang sudah sertifikasi). Entah berapa tahun lagi antri sampai mendapatkan kesempatan sertifikasi. Dalam kondisi yang demikian, diperparah lagi dengan sarana-prasarana pendidikan yang tidak memadai di daerah-daerah. Dengan kondisi seperti ini, masihkah kita menaruh harapan kepada mereka untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional? Pantaskah tudingan kita arahkan ke korps guru sebagai biang kerok penurunan tingkat kelulusan ujian nasional tahun ini? Butuh perenungan yang lebih dalam untuk menjawab pertanyaan di atas.

Elemen masyarakat, khususnya para orang tua siswa/i minimal dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu, Pertama, kelompok yang dari segi ekonomi cukup mapan dan memahami pentingnya pendidikan bagi seorang anak. Kelompok ini tidak menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru di sekolah. Untuk tambahan pengetahuan selain di sekolah, terhadapa anaknya diberikan les privat, ikut kursus-kursus pada lembaga-lembaga kursus yang ada. Anak dari kelompok ini sebagian besar berhasil dan UN tidak merupakan momok bagi mereka.
Kedua, kelompok yang tidak paham akan pentingnya pendidikan seorang anak. Tanggung jawab pendidikan anaknya diserahkan sepenuhnya kepada guru. Karenanya kalau ketahuan anaknya melakukan tindakan negatif, ataupun mempunyai nilai rendah, pasti sasaran yang disalahkan adalah pihak sekolah. Dan lebih brutal lagi bagi anak. Mengekspresikan kekecewaannya dengan pengrusakan fasilitas sekolah, bahkan lebih jauh dari itu, ada siswa yang mengancam gurunya karena mata pelajaran sang guru yang bersangkutan yang menyebabkan siswa tersebut tidak lulus. Emang, malang nian nasib para guru kita. Begini salah, begitu salah.

Kamis, 06 Mei 2010

Kasus Gayus, Hanya Secuil Mavioso Korupsi

Pemerintah SBY-Budiono selama tujuh bulan berjalan, nampaknya belum menunjukkan kinerja maksimal. Tenaga dan pikiran pemerintah terkuras pada berbagai persoalan bangsa yang terjadi mulai dari gempa Tasikmalaya, Padang, kasus KPK versus Kepolisian, kasus Antasari (mantan Ka. KPK), bank Century dan kasus Gaus T. yang sangat menghebohkan. Dan tidak menutup kemungkinan akan muncul lagi kasus-kasus lain yang lebih heboh dari kasus Gaus T. seperti yang dijanjikan oleh pak Susno Duadji (Mantan Kabareskrim POLRI).

Rentetan berbagai kejadian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tapi boleh jadi merupakan skenario Yang Maha Kuasa untuk membuka borok/mavia para elit di negeri ini dalam merampok uang rakyat dengan modus operandi yang sangat cerdik dan lihai. Kasus Gaus hanya secuil modus mavioso yang terungkap ke permukaan di departemen keuangan (direktorat pajak). Masih ada Gaus-2 lain yang lagi tiarap dan merapatkan barisan dengan pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan untuk menutup celah-celah yang dapat membuka modus operandi mereka. Kaburnya Gaus T. ke Singapura adalah sinyalemen kuat adanya upaya untuk mengaburkan kasus tersebut. Takut nantinya Gaus bernyanyi menyebut beberapa nama petinggi di lembaga penegak hukum di pengadilan.

Predikat Indonesia sebagai negara terkorup di dunia adalah bukti nyata bahwa program pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini belum sepenuhnya berhasil walaupun pihak pemerintah telah mengklaim sangat berhasil. Penyebab mandegnya program ini akibat kurangnya kesungguhan pemerintah, terutama aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Mereka hanya tegas pada rakyat kecil dan ngelempem saat berhadapan dengan orang-orang berduit. Sangat cepat menangani kasus pencuri kakao (bu Mina) dan sangat lamban memproses kasus koruptor kelas kakap. Kompleksitas permasalahan yang demikian telah menumbuh suburkan kembali prilaku korup dikalangan para elit ( Aleg, Birokrat, Swasta) dan diperparah lagi dengan sistem yang justru sangat mendukung terjadinya prilaku korup tersebut.

Bukan lagi rahasia umum bahwa budaya garong uang rakyat telah terjadi di berbagai lembaga di negeri ini. Lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif, ketiga-tiganya sami mawon cenderung berprilaku korup. Dalam rangka mempermulus modus mavioso korup ini disiasati dengan penciptaan sistem yang lemah serta mempertahankan sistem yang secara faktual justru sistem tersebut tidak mendukung program pemberantasan korupsi. Salah satu contoh misalnya asas praduga tak bersalah. Dengan asas ini membuat seseorang siapapun dia harus hati-hati dalam mengemukakan pendapat terhadap seorang pejabat apakah yang bersangkutan korupsi atau tidak, hanya karena melihat ketimpangan antara gaya hidup yang dilakoni ( mobil tiga, motor enam, tabungan milyaran, rumah tiga di perumahan elit ) dengan gaji yang mungkin kurang lebih 15 juta/bulan. Demikian pula terhadap tambahan kekayaan wakil Presiden 6 milyar pada periode April s/d Nopember 2009. Walaupun gaji beliau sebagai gubernur BI (± 150 juta/bulan) ditabung semua selama interval tersebut, jumlahnya hanya mencapai 1,2 milyar. Masih selisih 4,8 milyar yang tentu selisih jumlah yang besar ini akan memunculkan berbagai pertanyaan,’’dari mana sumbernya???’’). Kendati demikian faktanya, namun tidak serta merta dapat dijustifikasi bahwa wapres telah melakukan korupsi. Kalau justifikasi seperti ini nekad juga dilakukan, bersiaplah akan ditahan dengan ancaman pasal klasik yaitu “pencemaran nama baik’’ oleh pihak kepolisian.

Carut marut prilaku korup yang tengah terkuak ini, akan tetap terjadi manakala pemberantasannya tidak disertai dengan perubahan sistem yang signifikan. Asas praduga tak bersalah sudah seharusnya ditinjau kembali penggunaannya ke dalam tatanan hukum kita. Wacana pembuktian terbalik yang mengemuka saat kasus Gaus mencuat perlu diapresiasi dan difolowupi. Tentu pemberlakuannya tidak hanya sebatas pada kalangan pejabat direktorat pajak, tapi harus diberlakukan pada semua pejabat di berbagai institusi pemerintah mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat dua, ataupun sampai pada tingkat kecamatan, terutama para pejabat yang memiliki kekayaan yang sangat tidak berimbang dengan gaji yang diterima.

Pembuktian terbalik sudah sangat perlu dihadirkan dalam proses pemberantasan korupsi. Karena terkadang kita mendapatkan kenyataan bahwa sama-sama PNS dengan golongan yang sama tapi berlainan institusi, menunjukkan gaya hidup yang sangat berbeda. Para pejabat pemerintah maupun para aleg yang gajinya variatif yang nilai tertinggi sampai 50 juta/bulan (bukan gaji para direktur BUMN dan Gubernur BI) tapi memiliki beberapa mobil dan rumah bak istana. Saat mereka mencalonkan kembali untuk jabatan yang sama, miliyaran rupiah bahkan puluhan milyar keluar dari pundi-pundi mereka untuk mendapatkan empati masyarakat pemilih. Akibat dari proses pemilihan pejabat seperti ini, maka melahirkan sosok-sosok pemimpin yang lupa janji-janjinya akan mensejahterakan rakyat saat kampanye. Mereka lebih memprioritaskan program mempercepat pengembalian modal ketimbang mensejahterahkan masyarakat. Proses yang demikian telah terjadi di sebagian besar di negeri ini.

Fakta ketimpangan antara jumlah gaji yang diterima dengan gaya hidup para pejabat di atas, pembuktian terbalik terhadap kekayaan yang mereka miliki sudah sangat mendesak untuk diberlakukan. Langkah awal adalah mendesak pemerintah dan legislatif untuk membuat regulasi pemberantasan korupsi dengan memberlakukan pembuktian terbalik. Pemberi pressure diharapkan dari kalangan media, LSM, masyarakat, tokoh-tokoh nasional yang punya trakrecord baik, para pejabat yang dinilai masih relatif bersih. Yang kedua melakukan pembenahan sistem yang ada di lembaga-lembaga penegak hukum, termasuk mencopot dan mempesiun dinikan para oknum penegak hukum yang nakal terutama yang terlibat dalam kasus Gaus T. Yang ketiga mengawal secara ketat pengungkapan kasus Gaus T yang disinyalir banyak melibatkan pejabat pemerintah yang ada di direktorat pajak, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dan yang terakhir memberikan dukungan penuh kepada KPK untuk mengusut tuntas kasus Gaus T.

Jumat, 12 Maret 2010

Figur Pemimpin

Figur Pemimpin Yang Tanggung Jawab

Dalam versi Islam, minimal ada empat kriteria umum seorang pemimpin yang dijamin dapat mengayomi masyarakatnya dari rasa aman, adil, sejahtera dan terhindar dari suatu tindakan kezaliman dari para pemimpinnya. Kempat kriteria tersebut adalah sidiq, amanah, tablig dan fathonah. Selama ini, kriteria umum kepemimpinan di atas hanya disuarakan pada batas-batas dinding surau, mushallah dan mesjid oleh para ustaz/ustazah. Sangat jarang dikaji pada seminar–seminar ataupun diskusi-diskusi yang diadakan oleh organisasi-oraganisasi keagamaan, khususnya organisasi-organisasi keislaman.

Perlu digaris bawahi bahwa empat kriteria kepemimpinan di atas tidak hanya dikenal dalam konsep Islam, tapi juga terdapat pada konsep-konsep agama lain. Hanya saja dalam memformulasi kalimat-kalimat pada masing-masing agama tersebut berbeda-beda, namun ensensi dasar dari empat sifat kepemimpinan tersebut adalah sama. Oleh karenanya menjelang rangkaian pelaksanaan Pilgub, Pilbup/Pilwal yang akan dimulai tahun 2010 ini, dipandang perlu kriteria kepemimpinan ini dijelaskan kembali kepada masyarakat agar nantinya masyarakat punya acuan untuk memilih pemimpinnya sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memilih pemimpin. Tujuan ini tentu terkesan klise dan masih sangat sulit diwujudkan karena kendala pemilih yang masih pragmatisme, tapi akan lebih baik disosialisasikan daripada tidak sama sekali. Harapannya tentu dengan penjelasan-penjelasan ini, masyarakat akan menyadari kekeliruannya dalam pemilihan-pemilihan sebelumnya, baik itu pemilihan aleg DPR, DPR I/II maupun pemilihan Presiden dan wkil Presiden.

Empat kriteria kepemimipinan tersebut adalah:

1). Sidiq. Sidiq yaitu sifat pemimpin dalam menjalankan tugasnya selalu mengedepankan nilai-nilai kejujuran. Alergi dengan pola hidup yang dibingkai dengan dusta dan kemunafikan. Tutur kata dan prilaku selalu sinkron. Apa yang diucapkan adalah benar keluar dari hati sanubari yang dalam (nurani), sehingga apa yang dikatakan luput dari unsur-unsur dusta dan kemunafikan.

2). Amanah. Kejujuran bagi seorang pemimpin belum dapat menjamin pemimpin tersebut berhasil dalam kepemimpinannya. Masih perlu suatu sifat yang harus dimiliki yaitu sifat amanah. Amanah yaitu sifat pemimpin dalam menjalankan tugasnya selalu memperhatikan dan mempertimbangkan trend yang muncul pada masyarakat sebagai pihak pemberi kepercayaan memimpin. Jabatan yang disandangnya benar-benar dilakukan secara sungguh-sungguh. Bermodal dari kedua sifat ini, seorang pemimpin pada saat dihadapkan suatu pilihan untuk pengambilan suatu kebijakan, akan selalu mengingat janji-janjinya kepada masyarakat pada saat kampanye. Janji mensejahterakan rakyat, maka kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang mendukung upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Janji tidak akan menggusur PKL , sebagai pemimpin yang amanah tentu tidak akan mengeluarkan kebijakan penggusuran para PKL secara tidak manusiawi walaupun dikemasi dengan kata halus ”penertiban”. Pemimpin yang menepati janji-janjinya saat kampanye hanyalah pemimpin yang memiliki sifat jujur dan amanah. Sikap jujur dan amanah akan membuat seorang pemimpin terhindar dari prilaku bohong. Menyadari betul bahwa masyarakat menjatuhkan pilihan kepadanya antara lain karena janji-janji yang pernah disampaikan pada saat kampanye.

3) Tablig. Apakah dengan memiliki sifat jujur dan amanah, sudah dapat mengantarkan seseorang menjadi pemimpin? Tentu belum ada jaminan pasti. Masih ada anak bangsa yang memiliki sifat jujur dan amanah, tapi dalam percaturan elit politik, mereka terpinggirkan dan ditempatkan pada posisi-posisi yang secara fungsional tidak dapat menentukan kebijakan-kebijakan publik yang amat penting. Karenanya seseorang untuk menjadi pemimpin, masih dibutuhkan kriteria lain yaitu sifat tablig ( mempunyai kemampuan lebih dalam berkomunikasi). Penyampaian tentang visi dan misi jika kelak terpilih kepada masyarakat selalu menggunakan bahasa-bahasa yang sederhana yang dapat dipahami oleh masyarakat. Rencana program kerja yang disampaikan saat kampanye benar-benar yakin dapat diwujudkan berdasarkan kajian analisa berbagai aspek dengan melibatkan para pakar. Tidak asal obral janji demi untuk mendapatkan empati masyarakat. Kalau pemimpin seperti ini yang terpilih, masyarakat tidak akan lagi dipertontonkan seorang watak pemimpin yang saat kampanye berkoar-koar jika terpilih akan mensejaterahkan rakyat, tapi yang paling utama disejahterahkan adalah golongan dan kroni-kroninya”. Janji-janji omong kosong seperti ini tidak akan pernah ditemukan pada calon pemimpin yang memiliki sifat jujur, amanah dan tablig. Setelah memimpin, komunikasi dengan masyarakat tetap terjalin dengan baik. Komunikasi yang demikian akan menyebabkan masyarakat tidak pernah merasa kesulitan untuk menemui pemimpinnya. Masyarakat merasa punya pemimpin. Pemimpin yang melayani masyarakatnya. Bukan masyarakat yang melayani pemimpinnya.

4). Fathonah. Pemimpin yang memiliki sifat jujur, amanah dan tabliq belum sempurna kalau belum dilengkapi dengan sifat fathonah ( cerdas ). Sifat cerdas bagi seorang pemimpin sangat diperlukan. Sehingga pada saat memimpin, jika dihadapkan pada persoalan-persoalan pelik yang sangat sulit untuk menentukan pilihan, entah itu krisis ekonomi, gejolak politik, bencana alam yang bertubi-tubi, tidak serta merta langsung mengambil jalan pintas atau memilih cara yang gampangan. Tetapi perlu pertimbangan untung- ruginya bagi masyarakat terhadap solusi yang ditawarkan. Sesulit apapun yang dihadapi, kebijakan yang diambil selalu memprioritaskan seminimal mungkin dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat. Janji tidak akan menaikan BBM saat kampanye, tetap ditepati walaupun terjadi kenaikan harga BBM tingkat dunia. Wilcome dengan tawaran para pakar tentang solusi kebijakan yang dapat diambil dalam setiap menghadapi kenaikan harga BBM dunia.

Pemimpin yang memiliki empat sifat kepemimpinan di atas dijamin akan mampu membawa kondisi bangsa yang carut-marut ini ke arah yang lebih baik. Pertanyaan yang patut dimunculkan adalah apakah masyarakat pemilih sekarang sudah cerdas memilih pemimpinnya berdasarkan empat kriteria kepemimpinan di atas? Ataukah masih menganut paradigma lama, siapa yang kasih uang dia yang akan dipilih?. Jawabannya terpulang kepada pemilih. Namun perlu diingat bahwa pemimpin yang terpilih kerena menghamburkan uang kepada pemilih saat menjelang hari h pemilihan, hakul yakin tidak akan dapat mensejahterakan rakyat. Karena pola transaksi kepemimpinan yang digunakan seperti pola transaksi antara lelaki hidung belang dengan PSK. Setelah diberi uang dan puas terhadap pelayanan PSK, Si hidung belang pergi tanpa mau tau apakah PSK tersebut mau kembali ke jalan yang benar atau tetap menggeluti profesi yang menghinakan. Pemimpin yang terpilih karena menghamburkan uang saat menjelang hari h pemilihan tidak akan memperhatikan peningkatan kesejahteraan masyarakat saat memimpin. Tapi lebih memprioritaskan program-program untuk mempercepat kembali modal dan berikutnya program mengumpulkan pundi-pundi sebanyak-banyaknya untuk pemilihan periode berikutnya.

Akhir dari tulisan ini penulis cuma menyarankan agar masyarakat pemilih jangan lagi mengulangi kesalahannya dalam memilih pemimpin seperti yang sudah-sudah. Salah pilih pemimpin, konsekwensinya akan diderita selama 5 tahun ke depan. Semoga pesta demokrasi Pilgub, Pilbup/Pilwal yang akan datang berjalan sesuai dengan yang direncanakan dan melahirkan pemimpin yang benar-benar membawa perubahan yang lebih baik. Terhindar dari pemimpin yang ”korup” dan kelak bangsa kita akan terlepas dari himpitan ekonomi. Akan tercipta kondisi Indonesia dimana bukan hanya pejabatnya yang sejahtera, tapi juga masyarakatnya. Semoga

Minggu, 07 Maret 2010

Bencana adalah teguran bagi anak bangsa ini

Gempa di ranah Minang, Teguran bagi anak bangsa?

“ Karena faktor alam”. Rangkaian tiga kata ini selalu menjadi senjata pamungkas bagi pihak yang berkompoten setiap menanggapi bencana yang terjadi di negeri ini. Gempa terjadi, karena interaksi antara lempeng Hindia Australia dan lempeng Eurasia (para pakar geologi). Banjir bandang di Mandailing Sumatera Utara terjadi akibat karena faktor alam ( Menhut saat meninjau lokasi bencana). Penjelasan dari sudut pandang ilmiah seperti ini adalah sah-sah saja. Tapi kalau bencana yang sama, silih berganti tiada hentinya akhir-akhir ini, mulai gempa di Tasikmalaya, Bali, banjir bandang Mandailing Sumut, hingga gempa yang cukup dasyat menimpah ranah Minang Rabu sore 30 September dan Jambi pagi 1 Oktober beberapa hari yang lalu, sudut pandang ilmiah dalam menyikapi bencana tersebut tidak sepenuhnya benar dan harus dikombain dengan sudut pandang non ilmiah. Walaupun hal ini akan mengundang cibiran dari kalangan yang merasa super ahli dibidangnya. Seolah penyebab dari semua bencana yang terjadi di negeri ini hanya pantas dijelaskan dengan argumen-argumen ilmiah dan solusinya juga hanya dapat dilakukan dengan metode-metode teknis ilmiah. Padahal sebagai bangsa yang masyarakatnya masih dominan memegang teguh nilai-nilai religius, punya dasar dan acuan yang jelas dalam menilai penyebab terjadinya bencana tersebut. Pendekatan tidak cukup hanya berdasarkan pada pendekatan ilmiah, tapi juga dapat dikaitkan dengan pola hidup dan prilaku manusia.

Misalnya, hancurnya peradaban umat-umat sebelumnya adalah suatu contoh yang dapat dijadikan sebagai acuan penilaian tersebut dan perlu diungkap kembali dalam memori kehidupan saat ini. Bagaimana kaum Luth porak-poranda akibat angin taufan, kaum Sabah kotanya tertelan bumi akibat gempa, dan kaum Musa luluh-lantah akibat terjangan banjir. Hancurnya ketiga kaum tersebut adalah akibat dari pola hidup mereka sendiri yang secara terang-terangan telah ingkar akan nilai-nilai agama yang dianut. Pola hidup dan perilaku yang menyebabkan ketiga kaum tersebut hancur, sudah seharusnya dijadikan cermin nasional untuk melihat secara jernih dosa apa yang tengah dilakukan di negeri ini hingga musibah secara beruntun setiap tahun selalu terjadi silih berganti. Jika mau menilai secara jujur, pola hidup anak bangsa saat ini tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh ketiga kaum di atas dan tragisnya sebagian besar pelakunya melibatkan anak bangsa dari berbagai strata sosial. Sebagai bukti, kehidupan seks bebas, judi, minum, narkoba, embat duit rakyat (korupsi) semakin menjadi-jadi dan dianggap sebagai perilaku biasa. Rasa malu bagi yang melakukan perbuatan tersebut terasa hilang. Upaya tindakan preventif terhadap penyakit sosial tersebut, spontan mendapat perlawanan sengit dari berbagai pihak. Masih segar dalam ingatan kita betapa alotnya pembahasan RUU porno aksi dan pornografi oleh wakil rakyat di gedung DPR-MPR Senayan. Tindakan korupsi yang harus dienyahkan, justru lembaga yang ditugasi untuk memberantas korupsi tersebut(KPK) secara perlahan-lahan tapi pasti, kewenangannya mulai dilucuti satu-persatu. Ini adalah ulah para koruptor yang secara sadar telah menjalin jaringan kerja sama dan menggunakan lembaga-lembaga resmi negara untuk turut serta menghancurkan supremasi KPK. Tujuannya sederhana, agar para koruptor dan penguasa yang terlibat di dalamnya tidak ikut menjadi ” korban ” kerangkeng terali besi KPK.

Problem panyakit sosial sudah seharusnya turut diulas saat terjadi musibah. Selama ini jika musibah terjadi, berbagai media sibuk mengundang para pakar untuk menjelaskan kepada masyarakat mulai dari A sampai Z kenapa musibah tersebut terjadi. Amat jarang media mengundang para ustas/ustazah ataupun ahli agama lain untuk menjelaskan kaitan antara perilaku manusia dengan musibah yang terjadi. Tindakan media yang demikian adalah merupakan suatu kekeliruan. Keseimbangan penjelasan pendekatan ilmiah dan non ilmiah terhadap suatu musibah sangat perlu dilakukan. Jika keseimbangan tersebut tidak dilakukan, akibatnya para penikmat penyakit sosial tersebut entah dari kalangan masyarakat biasa maupun pejabat akan tetap bersenang-senang dengan kebiasaannya walaupun di berbagai belahan nusantara ini silih berganti terjadi musibah. Karena mereka tanpa merasa bersalah atas terjadinya musibah. Fenomena seperti ini adalah sebuah potret nyata kehidupan bangsa kita akhir-akhir ini. Sebagai contoh, mulai bencana tsunami di Aceh akhir 2004, sampai sekarangpun tidak ada tanda-tanda akan perubahan pola hidup para penikmat penyakit sosial tersebut. Hal ini karena setiap terjadi bencana, penjelasannyan dominan dilakukan dengan pendekatan ilmiah. Editorial Metro.tv hari jum’at 2 Oktober dengan tema gempa di ranah Minang, penanya dominan mengaitkan bencana tersebut dengan perilaku manusia, tapi penjelasan dari metro masih tetap dominan dengan pendekatan ilmiah. Respon terhadap pertanyaan yang diajukan penanya hanya dipandang sebagai suatu takdir.

Pendekatan ilmiah terhadap suatu musibah terutama gempa tentu sangat diperlukan. Pengetahuan masyarakat tentang gempa akan bermuara misalnya pada pendirian bangunan-bangunan yang anti gempa, peringatan dini dan lain sebagainya. Tapi hal-hal yang bersifat non ilmiah saat ini juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama bagi kalangan politisi dan para pejabat pemerintah. Karena secara jujur bangsa ini semakin disulitkan oleh sikap oknum-oknum politisi dan perilaku arogansi sebagian penguasa. Mereka zalim terhadap rakyat seolah tanpa menyadarinya. Dihadapan kita, pemerintah terang-terangan mempertontonkan ketidak berpihakan kepada rakyatnya. Begitu mudah menguncurkan dana Rp.6,7 triliun untuk menyelamatkan Bank Century yang nyata-nyata pengelolanya melakukan tindakan kriminal menjual obligasi palsu. Sebaliknya, pemerintah terkesan melakukan pembiaran atas keterlambatan ganti rugi bagi sekitar 8000 penduduk korban Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Saat korban gempa di Tasikmalaya masih hidup di bawah tenda-tenda pengungsian, di gedung DPR-MPR Senayan Jakarta telah menunggu para politisi yang terpilih jadi aleg untuk menikmati dana pelantikan yang digelontorkan pemerintah sejumlah Rp.46 milyar yang kalau dibagi rata akan mendapatkan 70 juta perorang. Dalam kasus ini, lagi-lagi Allah memberikan teguran sebelum perhelatan ini dilakukan dengan gempa-Nya di ranah Minang.

Rintihan, tangisan, dan jeritan saudara-saudara kita serta pemandangan reruntuhan bangunan dan gedung yang di dalamnya masih terdapat ribuan korban yang belum dievakuasi di ranah Minang, sudah mengharuskan kita untuk melakukan perubahan paradigma dalam menyikapi bencana yang terjadi. Justifikasi bahwa bencana terjadi adalah karena ” faktor alam ” sudah perlu pengurangan porsinya. Coba sedikit redam keangkuhan keilmuan kita seolah dengan ilmu yang kita miliki dapat menyelesaikan segala problem yang dihadapi bangsa ini. Penekanan bahwa perilaku manusia adalah ikut andil terjadinya suatu musibah perlu disosialisasikan kepada seluruh anak bangsa untuk saat sekarang ini. Hal ini bukan sesuatu yang mengada-ada tapi sangat relevan dengan pendapat yang sering dikutip oleh para ahli agama bahwa ada perilaku maksiat yang secara terang-terangan dilakukan manusia dapat mengundang azab Allah yaitu, kezaliman penguasa, minum alkohol (mabu-mabukan), main judi, main wanita/melacur (seks bebas), maling (korupsi). Sekarang tinggal kita menilai secara jujur, sudah sejauh mana anak bangsa ini melakoni keempat jenis perilaku di atas. Kalau jawabannya tidak, maka pembenaran bahwa bencana yang terjadi selama ini adalah karena faktor alam semakin kuat. Sebaliknya kalau jawabannya ya, maka anjuran pak Amin saat awal krismon di negeri ini tahun 1997 untuk ”tobat nasional” perlu dianjurkan kembali. ” Jika sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa kepada-Ku, maka akan Kucurahkan berkah dari langit maupun dari bumi, tapi karena mereka mendustakan akan ayat-ayat-Ku, maka Kutimpakan azab kepada mereka karena akibat perbuatan yang mereka lakukan (Qur’an)”

Jumat, 05 Maret 2010

Khasiat Nanas


Nanas (Pineapple) ternyata mempunyai suatu kejutan yang dapat membuat kita terheran-heran padanya, hal itu,yaitu:

1. Menurunkan Berat Badan
Nanas mampu meluruhkan timbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh sehingga dapat membantu kita yang sedang melakukan diet.

2. Mengatasi Sembelit
Buah nanas muda yang belum masak ,diparut atau diblender ,kemudian diperas airnya. Air perasan nanas ini ternyata mampu untuk mengatasi sembelit sehingga mengkonsumsi nanas ini sama artinya dengan meminum obat pencahar.

3. Radang Tenggorokan
Nanas ternyata juga bagus untuk mengobati radang tenggorokan, karena serat nanas yang membantu membersihkan bagian rongga mulut pada saat kita mengkonsumsi nanas.

4. Mengatasi Cacingan
Anak-anak yang menkonsumsi buah nanas ternyata dapat membantu mereka untuk menghindari atau menyembuhkan gejala cacingan karena serat nanas juga mampu membersihkan perut .

5. Ketombe
Sediakan 1/2 buah nanas yang sudah masak. kupas kulitnya, parut, peras lalu saring airnya. Tambahkan perasan 1 jeruk nipis ke dalam air nanas, aduk rata, kemudian gosokkan pada kulit kepala yang berketombe. Lakukan sebelum tidur dan keramaslah keesokan harinya. Lakukan 2-3 kali dalam seminggu.

6. Radang Kulit(Dermatitis)
Sediakan 1/2 buah nanas yang sudah masak. Kupas, cuci bersih, lalu parut. Gosokkan pada bagian kulit yang sakit. Lakukan pada malam hari menjelang tidur. Biarkan semalaman dan cucilah pada esok hari.

7. Luka Bakar,Gatal,Bisul
Ambil beberapa helain daun nanas, cuci sampai bersih lalu tumbuk hingga halus, Balurkan pada bagian kulit yang sakit.