Senin, 24 Mei 2010

Mencari Kambing Hitam, di Balik Kegagalan Peserta UN

Isu Gayuspun belum mereda dari pemberitaan media, kini giliran kegagalan UN jadi sorotan. Korelasi antara kenaikan dana pendidikan dan tingkat kelulusan yang berbanding terbalik, banyak dipertanyakan oleh berbagai pihak. Semestinya jika dana pendidikan naik, maka tingkat kelulusanpun harus naik. Kalimat inilah yang muncul menyertai pengumuman hasil ujian nasional haris Senin yang lalu. Karena kenyataannya, tidak seperti yang diharapkan. Tingkat kelulusan tahun ini justru menurun sekitar 5% bahkan ada beberapa sekolah siswanya 100% tidak lulus.

Bagi pihak yang kurang mengetahui persis bagaimana rumit dan susahnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pasti rumusan bahwa “dana pendidikan meningkat akan diikuti peningkatan kualitas pendidikan” diamini 100% kebenarannya. Ini adalah buah dari paradigma transaksional yang segalanya dapat ditukar dengan uang. Sehingga muncul asumsi bahwa semua persoalan apapun dapat diatasi dengan uang. Akibat dari paradigma ini, sorotan publik terhadap penurunan tingkat kelulusan dikaitakan dengan peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sangat tinggi.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dengan uang, segala urusan jadi lancar. Tapi dalam hal untuk peningkatan kualitas pendidikan, tidak seratus persen benar. Apalagi dengan penerapan Ujian Nasional dianggap sebagai salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan, sehinngga harus dipertahankan ditengah arus gelombang protes publik. Jauh… …jauh panggang dari api. Lalu, kalau demikian apa UN harus ditiadakan? Apa anggaran pendidikan harus ditingkatkan lagi lebih 20% dari APBN?Apa semua guru-guru harus diberikan laptop supaya nda gaptek, tidak ketinggalan dari murid-muridnya? Apa…………? Apa…………? Untuk saat ini, indikasi kualitas pendidikan masih dikaitakan dengan tingkat kelulusan secara nasional. Tingkat kelulusan meningkat, berarti kualitas pendidikan meningkat. Sebaliknya tingkat kelulusan menurun, kulitas pendidikan menurun. Inilah kenyataan yang harus kita terima tahun ini, tingkat kelulusan UN menurun, publikpun otomatis menuding bahwa kualitas pendidikan menurun disaat pemerintah gencar menaikan anggaran pendidikan.

Yang menjadi problem sebenarnya adalah proposional kita dalam menilai apa penyebab sesungguhnya membuat tingkat kelulusan nasional tahun ini menurun? Biasanya korban yang tidak lulus (ortu siswa/i) adalah pihak pertama yang melontarkan tuduhan serampangan keberbagai pihak pada posisi yang salah tanpa melakukan intropeksi diri. Guru tidak becus mengajar, pemerintah juga tidak becus, UN tidak pantas dijadikan ukuran kelulusan siswa, tidak lulus karena sering ke warnet (opini wikimu oleh……..), ngeluyur ke kak Seto (Komnas anak), dan masih seabrak cara mencari kambing hitam sebagai wujud pelampiasan kekecewaan atas kegagalan anaknya.

Langkah untuk mendudukan persoalan yang sebenarnya, terkait dengan kulitas pendidikan nasional perlu dirubah. Menyalahkan satu sama lain, terutama kepada pihak operasional sekolah (para kepala sekolah dan guru) sudah harus ditinggalakn. Sudah saatnya untuk transparan dalam menungkap kendala-kendala yang sebenarnya sebagai faktor penghambat dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Terutama kendala dan hambatan yang terdapat pada : 1) Pemerintah (Penyandang dana terbesar), 2) Guru (Tenaga operasional pendidikan), dan 3) Masyarakat (Orang tua sisw/i). Kendala dan hambatan pada ketiga komponen ini yang perlu dirajut, sehingga akan menemukan solusi jitu yang dapat meningkatkan sinerji ketiga unsur penopang pendidikan nasioanal kita.

Pemerintah, walaupun dengan segala kontroversinya mempertahankan pelaksanaan ujian Nasional, juga harus diapresiasi yang telah menaikan anggaran pendidikan sebesar 20 % APBN. Kenaikan anggaran ini, penggunaannya di lapangan perlu kontrol ketat untuk meminimalisasi kebocoran- kebocoran (ingat, kebocoran anggaran menurut sinyalemen mendiang Prof. Sumitro tiap tahun mencapai 20 sampai 30 %). Skala prioritas penanganan juga harus dilakukan. Seperti pemenuhan sarana prasarana pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru, peningkatan kualitas guru, yang ketiga parameter ini diakui sebagai faktor penunjang utama. Untuk menentukan mana yang lebih didahulukan, butuh pemikiran dari kalangan pakar berbagai disiplin ilmu. Jangan seperti sekarang, pemerintah lebih memprioritaskan pelaksanaan UN. Pada sisi lain, program sertifikasi yang selalu dibangga-banggakan sebagai keberhasilan pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan guru, justru banyak menyisakan berbagai masalah di lapangan.

Memang diakui, selama ini guru adalah sebuah profesi yang termarjinalkan. Rela dan pasrah atas julukan pemerintah sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Atas julukan ini, masyarakat bahkan pemerintah terlalu banyak menuntut kewajiban sebagai seorang guru, tapi hak mereka sebagai imbalan kewajiban yang mereka tunai kadang terabaikan. Namun dengan berlakunya UU Guru dan Dosen, suatu bukti bahwa pemerintah cukup serius memperhatikan profesi guru. Tapi masih ada hal-hal yang harus dibenahi. Peningkatan kualitas guru misalnya, masih bingung untuk menentukan dari titik mana memulai. Peningkatan kesejahteraan guru, baru dinikmati sebagian kecil guru (sebatas yang sudah sertifikasi). Entah berapa tahun lagi antri sampai mendapatkan kesempatan sertifikasi. Dalam kondisi yang demikian, diperparah lagi dengan sarana-prasarana pendidikan yang tidak memadai di daerah-daerah. Dengan kondisi seperti ini, masihkah kita menaruh harapan kepada mereka untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional? Pantaskah tudingan kita arahkan ke korps guru sebagai biang kerok penurunan tingkat kelulusan ujian nasional tahun ini? Butuh perenungan yang lebih dalam untuk menjawab pertanyaan di atas.

Elemen masyarakat, khususnya para orang tua siswa/i minimal dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu, Pertama, kelompok yang dari segi ekonomi cukup mapan dan memahami pentingnya pendidikan bagi seorang anak. Kelompok ini tidak menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru di sekolah. Untuk tambahan pengetahuan selain di sekolah, terhadapa anaknya diberikan les privat, ikut kursus-kursus pada lembaga-lembaga kursus yang ada. Anak dari kelompok ini sebagian besar berhasil dan UN tidak merupakan momok bagi mereka.
Kedua, kelompok yang tidak paham akan pentingnya pendidikan seorang anak. Tanggung jawab pendidikan anaknya diserahkan sepenuhnya kepada guru. Karenanya kalau ketahuan anaknya melakukan tindakan negatif, ataupun mempunyai nilai rendah, pasti sasaran yang disalahkan adalah pihak sekolah. Dan lebih brutal lagi bagi anak. Mengekspresikan kekecewaannya dengan pengrusakan fasilitas sekolah, bahkan lebih jauh dari itu, ada siswa yang mengancam gurunya karena mata pelajaran sang guru yang bersangkutan yang menyebabkan siswa tersebut tidak lulus. Emang, malang nian nasib para guru kita. Begini salah, begitu salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar