Senin, 31 Mei 2010

Kesamaan Sikap Istana dan Kepolisian Terhadap Penegakan Hukum

Telah berkali-kali metro-tv dalam editorialnya mengingatkan, hei hati-hati media dan publik, jangan sampai kasus senturi tenggelam oleh pemberitaan dan perhatian masyarakat terhadap euvoria kasus Gayus dan sekarang bergeser pada perseteruan antara Syahril Djohan dan Susno Duaji. Terakhir metro-tv menyoroti penetapan Misbakhun, anggota DPR dari PKS sebagai tersangka kasus LC fiktif oleh kepolisian. Status tersangka anggota DPR untuk diperiksa, menurut undang-undang harus ada persetujuan Presiden. Dalam waktu relatif singkat persetujuan Presiden pun diperoleh.

Terus terang dengan penyikapan yang sangat berbeda yang diperlihatkan baik pihak kepolisian maupun istana terhadap kasus bank century dan LC fiktif ini, tentu akan mengundang berbagai pertanyaan dari masyarakat. Kenapa kesigapan kepolisian dan istana dalam menangani kasus LC fiktif bukannya diberikan apresiasi, tapi justru dipertanyakan ?

Dipertanyakan, boleh jadi dalam penanganan kedua kasus tersebut, kepolisian maupun pihak istana keliru dalam menentukan skala prioritas, mana kasus yang pantas lebih didahulukan, bank Century atau kasus LC fiktif Misbakhun? Pada kenyataannya justru yang mendapatkan respon lebih cepat adalah kasus LC fiktif. Padahal dari aspek pemberi rekomondasi, mestinya kasus century yang lebih didahulukan. Kenapa? Century berawal dari pemekriksaan BPK bahwa penggelontoran dana untuk penyelamatan bank Century diindikasikan bermasalah. Temuan BPK ini direspon oleh beberapa anggota dewan untuk membentuk Pansus Bank Century dan berhasi terbentuk dan hasilnyapun telah diketahui masyarakat luas yaitu memberikan rekomondasi kepada pemerintah untuk menon aktifkan Budiono dan Srimulyani untuk kebutuhan penyelidikan atas dugaan penyalahgunaan wewenang sebagai Gubernur BI dan Menteri Keuangan pada kebijakan bail-out bank Century. Bagaimana dengan respon istana terhadap kasus Century ini? Masyarakat pun sudah tau lewat isi pidato monumental SBY yang dikenal dengan sebutan ‘’ Pidato Pembelaan Istana’’.

Memang harus kita akui bahwa kasus bank Century seakan hilang tertelan bumi. Sampai-sampai para inisiator pansus tersebut rada-rada frustrasi. Sebenarnya tidak ada alasan institusi penegak hukum kita untuk tidak mengusut kasus tersebut walau melibatkan Wakil Presiden dan salah satu menteri. Karena rekomondasi bahwa kebijakan bail-out Century bermasalah tidak lahir dari organisasi jalanan, tapi dari lembaga Negara ( BPK dan DPR ) yang cukup dipercaya. Validitas datanya cukup akurat. Investigasi anggota pansus juga sudah diketahui lewat tayangan langsung media TV. Indikasi bermasalah sudah cukup jelas. Bandingkan dengan masalah LC fiktif yang melibatkan Misbakhun. Cepat sekali direspon oleh kepolisian. Pihak istana pun, tanpa resistensi SBY langsung menandatangani persetujuan untuk pemeriksaan Misbakhun (anggota DPR) sebagai tersangka. Padahal ikhwal LC fiktif ini bersumber dari staf ahli Presiden ( Andi Arief ) yang membidangi tentang penanggulangan bencana. Disaat korban bencana banjir, gempa sangat membutuhkan kehadirannya di tengah-tengah tenda pengungsian, mala Andi Arief grusa-grusu kesana kemari membawa dokumen LC fiktif yang melibatkan anggota DPR Misbakhun. Dan ironinya, justru polisi lebih merespon fakta yang dikedepankan oleh Andi Arief ketimbang BPK dan DPR. Apa karena Misbakhun salah satu inisiator pembentukan pansus century ?

Kalau kita mencermati penyikapan istana terhadap kasus LC fiktif yang melibatkan Misbakhun dan penyikapan kepolisian terhadap mafia kasus Gayus yang diendus pertama kali oleh Susno Duaji memiliki kemiripan. Istana lebih respon untuk memproses kasus Misbakhun sebagai salah satu inisiator pembentukkan pansus Century ketimbang kasus bail-out bank Century yang melibatkan Budiono dan Srimulyani. Demikian pula dengan pihak kepolisian, bukannya memberikan perlindungan terhadap Susno Duadji karena kebehasilannya dalam membuka mafia hukum yang melibatkan lintas institusi penegak hukum kita, tapi malah dimusuhi dan dicari-cari kesalahannya. Bahkan sampai terjadi drama pembawaan paksa ke Mabes Polri dari Bandara Sukarno saat Susno mau cek-up ke Singapura. Kesamaan ini lagi-lagi pasti akan memunculkan pertanyaan, apakah ini secara kebetulan mirip, atau ada skenario besar untuk menyembunyikan mafia yang lebih dasyat lagi selain yang sudah diungkapkan oleh Susno Duadji? Ko kenapa pihak istana diam seribu bahasa, tanpa ada sepatah katapun pembelaan terhadap pak Susno? Padahal apa yang dituduhkan pak Susno ada mafia hukum di Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman bukan isapan jempol. Yang semula ketiga institusi ini ramai-2 membantah, sok sucilah dan pada akhirnya pertahanan mereka juga jebol. Kebusukan mereka mulai terkuak dan sesuai dengan apa yang dituduhkan ole pak Susno. Jangan ada dusta antara pemerintah dan rakyat. Rakyat ingin sekali korupsi di negeri ini dienyahkan. Sekaranglah saatnya untuk memulai memberantas korupsi. Tunggu apalagi pak SBY?

DPR, Dewan Perampok Rakyat?

Pagi hari Sabtu minggu kemarin, ulasan editorial Media Indonesia di MetroTV lagi-lagi membuat miris hati masyarakat. Terkuak lagi ulah para anggota dewan yang terhormat yang sangat mengusik rasa ketidak adilan. Saat masyarakat tengah susah payah untuk keluar dari himpitan berbagai persoalan hidup. Tanpa malu-malu, dalam rapat yang hanya dihadiri ± 200 anggota dari 550 anggota dewan, mengajukan anggaran kepada pemerintah agar setiap anggota dewan diberikan dana sebesar 15 milyar. Konon kabarnya dana ini akan diperuntukkan kepada masyarakat (konstituen mereka) yang belum mendapatkan kue pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Kalau munculnya ide pengajuan ( baca minta-minta ) anggaran hanya dilatar belakangi oleh temuan mereka saat kunjungan di daerah, dimana ditemukan masih banyak masyarakat yang belum menikmati hasil pembangunan. Mestinya yang dilakukan adalah optimalkan fungsi kontrol mereka terhadap penggunaan anggaran oleh pemerintah dalam melakukan pembangunan. Giring pemerintah ke arah pembangunan yang benar-benar hasilnya dapat langsung dinikmati oleh masyarakat. Tidak perlu minta. Rakyat pasti tidak percaya bahwa uang sejumlah itu akan disalurkan seluruhnya ke masyarakat. Paling separuh yang disalurkan dan yang separuhnya dideposit untuk persiapan pemilu 2014.

Pengajuan anggaran oleh anggota dewan yang dilansir oleh Media Indonesia adalah semakin memperkuat kebenaran anggapan bahwa anggota dewan sekarang ini hanya memikirkan dirinya, kelompok /golongannya, partainya, dan sesama partai koalisi. Urusan rakyat? nanti setelah dekat pemilu baru mendapat prioritas utama. Perdebatan sengit menyangkut kepentingan rakyat di sidang-sidang dewan hanyalah sebuah suguhan sandiwara belaka. Lihat kasus Century. Milyaran dana habis untuknya. Sidang-sidang pansusnya tidak kalah sengitnya. Tapi penyelesaiannya semakin tidak jelas. Partai-partai koalisi, yang dulu sangat getol untuk membuka kasus Century secara terang benderang, kini diam membisu, sepi komentar. Mungkin terbungkam oleh terbentuknya SEKBER partai koalisi ala Cikeas dengan ketua hariannya adalah Aburizal Bakri, Ketua umum Golkar dan merupakan seteru mantan Menteri Keuangan (Sri Mulyani).

Jika kita runut balik menjelang dua tahun mereka menjadi aleg yang terhormat di Senayan, terdapat beberapa sikap yang cukup mengusik rasa ketidak adilan masyarakat. Pertama, mereka bungkam saat pemerintah menggelontorkan dana untuk acara pelantikan mereka sejumlah 46 milyar rupiah (jika dibagi 70 juta/orang). Padahal saat itu, korban gempa di Tasikmalaya masih hidup di bawah tenda-tenda pengungsian. Kedua, lagi-lagi bungkam saat pemerintanh membagi-bagikan mobil dinas yang harganya 1,2 milyar kepada para menteri dan para ketua dan wakil ketua MPR, DPR dan DPD. Satu-satunya pejabat yang masih memiliki hati nurani adalah La Ode Ida, wakil ketua DPD RI. Beliau mengembalikan fasilitas ini ke negara dengan alasan bahwa tidak pantas saya mengenderai mobil semewah ini sementar konstituen yang memilih saya justru masih hidup memprihatinkan. Ketiga, ngotot untuk merenofasi gedungnya yang masih megah dan kokoh dengan anggaran selangit ( Rp 1,8 t riliun ).

Kalau sikap anggota dewan yang demikian, telah mereka pertontonkan sebelum dua tahun menjadi aleg, apakah ada jaminan tahun-tahun mendatang tidak akan bersikap yang dapat mengusik keadilan masyarakat? Pembuktiannya, kita tunggu nanti sikap mereka terhadap wacana pemerintah untuk pembatasan premium bagi pengendara roda dua bulan Agustus mendatang.

Senin, 24 Mei 2010

Mencari Kambing Hitam, di Balik Kegagalan Peserta UN

Isu Gayuspun belum mereda dari pemberitaan media, kini giliran kegagalan UN jadi sorotan. Korelasi antara kenaikan dana pendidikan dan tingkat kelulusan yang berbanding terbalik, banyak dipertanyakan oleh berbagai pihak. Semestinya jika dana pendidikan naik, maka tingkat kelulusanpun harus naik. Kalimat inilah yang muncul menyertai pengumuman hasil ujian nasional haris Senin yang lalu. Karena kenyataannya, tidak seperti yang diharapkan. Tingkat kelulusan tahun ini justru menurun sekitar 5% bahkan ada beberapa sekolah siswanya 100% tidak lulus.

Bagi pihak yang kurang mengetahui persis bagaimana rumit dan susahnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pasti rumusan bahwa “dana pendidikan meningkat akan diikuti peningkatan kualitas pendidikan” diamini 100% kebenarannya. Ini adalah buah dari paradigma transaksional yang segalanya dapat ditukar dengan uang. Sehingga muncul asumsi bahwa semua persoalan apapun dapat diatasi dengan uang. Akibat dari paradigma ini, sorotan publik terhadap penurunan tingkat kelulusan dikaitakan dengan peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sangat tinggi.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dengan uang, segala urusan jadi lancar. Tapi dalam hal untuk peningkatan kualitas pendidikan, tidak seratus persen benar. Apalagi dengan penerapan Ujian Nasional dianggap sebagai salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan, sehinngga harus dipertahankan ditengah arus gelombang protes publik. Jauh… …jauh panggang dari api. Lalu, kalau demikian apa UN harus ditiadakan? Apa anggaran pendidikan harus ditingkatkan lagi lebih 20% dari APBN?Apa semua guru-guru harus diberikan laptop supaya nda gaptek, tidak ketinggalan dari murid-muridnya? Apa…………? Apa…………? Untuk saat ini, indikasi kualitas pendidikan masih dikaitakan dengan tingkat kelulusan secara nasional. Tingkat kelulusan meningkat, berarti kualitas pendidikan meningkat. Sebaliknya tingkat kelulusan menurun, kulitas pendidikan menurun. Inilah kenyataan yang harus kita terima tahun ini, tingkat kelulusan UN menurun, publikpun otomatis menuding bahwa kualitas pendidikan menurun disaat pemerintah gencar menaikan anggaran pendidikan.

Yang menjadi problem sebenarnya adalah proposional kita dalam menilai apa penyebab sesungguhnya membuat tingkat kelulusan nasional tahun ini menurun? Biasanya korban yang tidak lulus (ortu siswa/i) adalah pihak pertama yang melontarkan tuduhan serampangan keberbagai pihak pada posisi yang salah tanpa melakukan intropeksi diri. Guru tidak becus mengajar, pemerintah juga tidak becus, UN tidak pantas dijadikan ukuran kelulusan siswa, tidak lulus karena sering ke warnet (opini wikimu oleh……..), ngeluyur ke kak Seto (Komnas anak), dan masih seabrak cara mencari kambing hitam sebagai wujud pelampiasan kekecewaan atas kegagalan anaknya.

Langkah untuk mendudukan persoalan yang sebenarnya, terkait dengan kulitas pendidikan nasional perlu dirubah. Menyalahkan satu sama lain, terutama kepada pihak operasional sekolah (para kepala sekolah dan guru) sudah harus ditinggalakn. Sudah saatnya untuk transparan dalam menungkap kendala-kendala yang sebenarnya sebagai faktor penghambat dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Terutama kendala dan hambatan yang terdapat pada : 1) Pemerintah (Penyandang dana terbesar), 2) Guru (Tenaga operasional pendidikan), dan 3) Masyarakat (Orang tua sisw/i). Kendala dan hambatan pada ketiga komponen ini yang perlu dirajut, sehingga akan menemukan solusi jitu yang dapat meningkatkan sinerji ketiga unsur penopang pendidikan nasioanal kita.

Pemerintah, walaupun dengan segala kontroversinya mempertahankan pelaksanaan ujian Nasional, juga harus diapresiasi yang telah menaikan anggaran pendidikan sebesar 20 % APBN. Kenaikan anggaran ini, penggunaannya di lapangan perlu kontrol ketat untuk meminimalisasi kebocoran- kebocoran (ingat, kebocoran anggaran menurut sinyalemen mendiang Prof. Sumitro tiap tahun mencapai 20 sampai 30 %). Skala prioritas penanganan juga harus dilakukan. Seperti pemenuhan sarana prasarana pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru, peningkatan kualitas guru, yang ketiga parameter ini diakui sebagai faktor penunjang utama. Untuk menentukan mana yang lebih didahulukan, butuh pemikiran dari kalangan pakar berbagai disiplin ilmu. Jangan seperti sekarang, pemerintah lebih memprioritaskan pelaksanaan UN. Pada sisi lain, program sertifikasi yang selalu dibangga-banggakan sebagai keberhasilan pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan guru, justru banyak menyisakan berbagai masalah di lapangan.

Memang diakui, selama ini guru adalah sebuah profesi yang termarjinalkan. Rela dan pasrah atas julukan pemerintah sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Atas julukan ini, masyarakat bahkan pemerintah terlalu banyak menuntut kewajiban sebagai seorang guru, tapi hak mereka sebagai imbalan kewajiban yang mereka tunai kadang terabaikan. Namun dengan berlakunya UU Guru dan Dosen, suatu bukti bahwa pemerintah cukup serius memperhatikan profesi guru. Tapi masih ada hal-hal yang harus dibenahi. Peningkatan kualitas guru misalnya, masih bingung untuk menentukan dari titik mana memulai. Peningkatan kesejahteraan guru, baru dinikmati sebagian kecil guru (sebatas yang sudah sertifikasi). Entah berapa tahun lagi antri sampai mendapatkan kesempatan sertifikasi. Dalam kondisi yang demikian, diperparah lagi dengan sarana-prasarana pendidikan yang tidak memadai di daerah-daerah. Dengan kondisi seperti ini, masihkah kita menaruh harapan kepada mereka untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional? Pantaskah tudingan kita arahkan ke korps guru sebagai biang kerok penurunan tingkat kelulusan ujian nasional tahun ini? Butuh perenungan yang lebih dalam untuk menjawab pertanyaan di atas.

Elemen masyarakat, khususnya para orang tua siswa/i minimal dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu, Pertama, kelompok yang dari segi ekonomi cukup mapan dan memahami pentingnya pendidikan bagi seorang anak. Kelompok ini tidak menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru di sekolah. Untuk tambahan pengetahuan selain di sekolah, terhadapa anaknya diberikan les privat, ikut kursus-kursus pada lembaga-lembaga kursus yang ada. Anak dari kelompok ini sebagian besar berhasil dan UN tidak merupakan momok bagi mereka.
Kedua, kelompok yang tidak paham akan pentingnya pendidikan seorang anak. Tanggung jawab pendidikan anaknya diserahkan sepenuhnya kepada guru. Karenanya kalau ketahuan anaknya melakukan tindakan negatif, ataupun mempunyai nilai rendah, pasti sasaran yang disalahkan adalah pihak sekolah. Dan lebih brutal lagi bagi anak. Mengekspresikan kekecewaannya dengan pengrusakan fasilitas sekolah, bahkan lebih jauh dari itu, ada siswa yang mengancam gurunya karena mata pelajaran sang guru yang bersangkutan yang menyebabkan siswa tersebut tidak lulus. Emang, malang nian nasib para guru kita. Begini salah, begitu salah.

Kamis, 06 Mei 2010

Kasus Gayus, Hanya Secuil Mavioso Korupsi

Pemerintah SBY-Budiono selama tujuh bulan berjalan, nampaknya belum menunjukkan kinerja maksimal. Tenaga dan pikiran pemerintah terkuras pada berbagai persoalan bangsa yang terjadi mulai dari gempa Tasikmalaya, Padang, kasus KPK versus Kepolisian, kasus Antasari (mantan Ka. KPK), bank Century dan kasus Gaus T. yang sangat menghebohkan. Dan tidak menutup kemungkinan akan muncul lagi kasus-kasus lain yang lebih heboh dari kasus Gaus T. seperti yang dijanjikan oleh pak Susno Duadji (Mantan Kabareskrim POLRI).

Rentetan berbagai kejadian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tapi boleh jadi merupakan skenario Yang Maha Kuasa untuk membuka borok/mavia para elit di negeri ini dalam merampok uang rakyat dengan modus operandi yang sangat cerdik dan lihai. Kasus Gaus hanya secuil modus mavioso yang terungkap ke permukaan di departemen keuangan (direktorat pajak). Masih ada Gaus-2 lain yang lagi tiarap dan merapatkan barisan dengan pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan untuk menutup celah-celah yang dapat membuka modus operandi mereka. Kaburnya Gaus T. ke Singapura adalah sinyalemen kuat adanya upaya untuk mengaburkan kasus tersebut. Takut nantinya Gaus bernyanyi menyebut beberapa nama petinggi di lembaga penegak hukum di pengadilan.

Predikat Indonesia sebagai negara terkorup di dunia adalah bukti nyata bahwa program pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini belum sepenuhnya berhasil walaupun pihak pemerintah telah mengklaim sangat berhasil. Penyebab mandegnya program ini akibat kurangnya kesungguhan pemerintah, terutama aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Mereka hanya tegas pada rakyat kecil dan ngelempem saat berhadapan dengan orang-orang berduit. Sangat cepat menangani kasus pencuri kakao (bu Mina) dan sangat lamban memproses kasus koruptor kelas kakap. Kompleksitas permasalahan yang demikian telah menumbuh suburkan kembali prilaku korup dikalangan para elit ( Aleg, Birokrat, Swasta) dan diperparah lagi dengan sistem yang justru sangat mendukung terjadinya prilaku korup tersebut.

Bukan lagi rahasia umum bahwa budaya garong uang rakyat telah terjadi di berbagai lembaga di negeri ini. Lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif, ketiga-tiganya sami mawon cenderung berprilaku korup. Dalam rangka mempermulus modus mavioso korup ini disiasati dengan penciptaan sistem yang lemah serta mempertahankan sistem yang secara faktual justru sistem tersebut tidak mendukung program pemberantasan korupsi. Salah satu contoh misalnya asas praduga tak bersalah. Dengan asas ini membuat seseorang siapapun dia harus hati-hati dalam mengemukakan pendapat terhadap seorang pejabat apakah yang bersangkutan korupsi atau tidak, hanya karena melihat ketimpangan antara gaya hidup yang dilakoni ( mobil tiga, motor enam, tabungan milyaran, rumah tiga di perumahan elit ) dengan gaji yang mungkin kurang lebih 15 juta/bulan. Demikian pula terhadap tambahan kekayaan wakil Presiden 6 milyar pada periode April s/d Nopember 2009. Walaupun gaji beliau sebagai gubernur BI (± 150 juta/bulan) ditabung semua selama interval tersebut, jumlahnya hanya mencapai 1,2 milyar. Masih selisih 4,8 milyar yang tentu selisih jumlah yang besar ini akan memunculkan berbagai pertanyaan,’’dari mana sumbernya???’’). Kendati demikian faktanya, namun tidak serta merta dapat dijustifikasi bahwa wapres telah melakukan korupsi. Kalau justifikasi seperti ini nekad juga dilakukan, bersiaplah akan ditahan dengan ancaman pasal klasik yaitu “pencemaran nama baik’’ oleh pihak kepolisian.

Carut marut prilaku korup yang tengah terkuak ini, akan tetap terjadi manakala pemberantasannya tidak disertai dengan perubahan sistem yang signifikan. Asas praduga tak bersalah sudah seharusnya ditinjau kembali penggunaannya ke dalam tatanan hukum kita. Wacana pembuktian terbalik yang mengemuka saat kasus Gaus mencuat perlu diapresiasi dan difolowupi. Tentu pemberlakuannya tidak hanya sebatas pada kalangan pejabat direktorat pajak, tapi harus diberlakukan pada semua pejabat di berbagai institusi pemerintah mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat dua, ataupun sampai pada tingkat kecamatan, terutama para pejabat yang memiliki kekayaan yang sangat tidak berimbang dengan gaji yang diterima.

Pembuktian terbalik sudah sangat perlu dihadirkan dalam proses pemberantasan korupsi. Karena terkadang kita mendapatkan kenyataan bahwa sama-sama PNS dengan golongan yang sama tapi berlainan institusi, menunjukkan gaya hidup yang sangat berbeda. Para pejabat pemerintah maupun para aleg yang gajinya variatif yang nilai tertinggi sampai 50 juta/bulan (bukan gaji para direktur BUMN dan Gubernur BI) tapi memiliki beberapa mobil dan rumah bak istana. Saat mereka mencalonkan kembali untuk jabatan yang sama, miliyaran rupiah bahkan puluhan milyar keluar dari pundi-pundi mereka untuk mendapatkan empati masyarakat pemilih. Akibat dari proses pemilihan pejabat seperti ini, maka melahirkan sosok-sosok pemimpin yang lupa janji-janjinya akan mensejahterakan rakyat saat kampanye. Mereka lebih memprioritaskan program mempercepat pengembalian modal ketimbang mensejahterahkan masyarakat. Proses yang demikian telah terjadi di sebagian besar di negeri ini.

Fakta ketimpangan antara jumlah gaji yang diterima dengan gaya hidup para pejabat di atas, pembuktian terbalik terhadap kekayaan yang mereka miliki sudah sangat mendesak untuk diberlakukan. Langkah awal adalah mendesak pemerintah dan legislatif untuk membuat regulasi pemberantasan korupsi dengan memberlakukan pembuktian terbalik. Pemberi pressure diharapkan dari kalangan media, LSM, masyarakat, tokoh-tokoh nasional yang punya trakrecord baik, para pejabat yang dinilai masih relatif bersih. Yang kedua melakukan pembenahan sistem yang ada di lembaga-lembaga penegak hukum, termasuk mencopot dan mempesiun dinikan para oknum penegak hukum yang nakal terutama yang terlibat dalam kasus Gaus T. Yang ketiga mengawal secara ketat pengungkapan kasus Gaus T yang disinyalir banyak melibatkan pejabat pemerintah yang ada di direktorat pajak, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dan yang terakhir memberikan dukungan penuh kepada KPK untuk mengusut tuntas kasus Gaus T.