Minggu, 07 Maret 2010

Bencana adalah teguran bagi anak bangsa ini

Gempa di ranah Minang, Teguran bagi anak bangsa?

“ Karena faktor alam”. Rangkaian tiga kata ini selalu menjadi senjata pamungkas bagi pihak yang berkompoten setiap menanggapi bencana yang terjadi di negeri ini. Gempa terjadi, karena interaksi antara lempeng Hindia Australia dan lempeng Eurasia (para pakar geologi). Banjir bandang di Mandailing Sumatera Utara terjadi akibat karena faktor alam ( Menhut saat meninjau lokasi bencana). Penjelasan dari sudut pandang ilmiah seperti ini adalah sah-sah saja. Tapi kalau bencana yang sama, silih berganti tiada hentinya akhir-akhir ini, mulai gempa di Tasikmalaya, Bali, banjir bandang Mandailing Sumut, hingga gempa yang cukup dasyat menimpah ranah Minang Rabu sore 30 September dan Jambi pagi 1 Oktober beberapa hari yang lalu, sudut pandang ilmiah dalam menyikapi bencana tersebut tidak sepenuhnya benar dan harus dikombain dengan sudut pandang non ilmiah. Walaupun hal ini akan mengundang cibiran dari kalangan yang merasa super ahli dibidangnya. Seolah penyebab dari semua bencana yang terjadi di negeri ini hanya pantas dijelaskan dengan argumen-argumen ilmiah dan solusinya juga hanya dapat dilakukan dengan metode-metode teknis ilmiah. Padahal sebagai bangsa yang masyarakatnya masih dominan memegang teguh nilai-nilai religius, punya dasar dan acuan yang jelas dalam menilai penyebab terjadinya bencana tersebut. Pendekatan tidak cukup hanya berdasarkan pada pendekatan ilmiah, tapi juga dapat dikaitkan dengan pola hidup dan prilaku manusia.

Misalnya, hancurnya peradaban umat-umat sebelumnya adalah suatu contoh yang dapat dijadikan sebagai acuan penilaian tersebut dan perlu diungkap kembali dalam memori kehidupan saat ini. Bagaimana kaum Luth porak-poranda akibat angin taufan, kaum Sabah kotanya tertelan bumi akibat gempa, dan kaum Musa luluh-lantah akibat terjangan banjir. Hancurnya ketiga kaum tersebut adalah akibat dari pola hidup mereka sendiri yang secara terang-terangan telah ingkar akan nilai-nilai agama yang dianut. Pola hidup dan perilaku yang menyebabkan ketiga kaum tersebut hancur, sudah seharusnya dijadikan cermin nasional untuk melihat secara jernih dosa apa yang tengah dilakukan di negeri ini hingga musibah secara beruntun setiap tahun selalu terjadi silih berganti. Jika mau menilai secara jujur, pola hidup anak bangsa saat ini tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh ketiga kaum di atas dan tragisnya sebagian besar pelakunya melibatkan anak bangsa dari berbagai strata sosial. Sebagai bukti, kehidupan seks bebas, judi, minum, narkoba, embat duit rakyat (korupsi) semakin menjadi-jadi dan dianggap sebagai perilaku biasa. Rasa malu bagi yang melakukan perbuatan tersebut terasa hilang. Upaya tindakan preventif terhadap penyakit sosial tersebut, spontan mendapat perlawanan sengit dari berbagai pihak. Masih segar dalam ingatan kita betapa alotnya pembahasan RUU porno aksi dan pornografi oleh wakil rakyat di gedung DPR-MPR Senayan. Tindakan korupsi yang harus dienyahkan, justru lembaga yang ditugasi untuk memberantas korupsi tersebut(KPK) secara perlahan-lahan tapi pasti, kewenangannya mulai dilucuti satu-persatu. Ini adalah ulah para koruptor yang secara sadar telah menjalin jaringan kerja sama dan menggunakan lembaga-lembaga resmi negara untuk turut serta menghancurkan supremasi KPK. Tujuannya sederhana, agar para koruptor dan penguasa yang terlibat di dalamnya tidak ikut menjadi ” korban ” kerangkeng terali besi KPK.

Problem panyakit sosial sudah seharusnya turut diulas saat terjadi musibah. Selama ini jika musibah terjadi, berbagai media sibuk mengundang para pakar untuk menjelaskan kepada masyarakat mulai dari A sampai Z kenapa musibah tersebut terjadi. Amat jarang media mengundang para ustas/ustazah ataupun ahli agama lain untuk menjelaskan kaitan antara perilaku manusia dengan musibah yang terjadi. Tindakan media yang demikian adalah merupakan suatu kekeliruan. Keseimbangan penjelasan pendekatan ilmiah dan non ilmiah terhadap suatu musibah sangat perlu dilakukan. Jika keseimbangan tersebut tidak dilakukan, akibatnya para penikmat penyakit sosial tersebut entah dari kalangan masyarakat biasa maupun pejabat akan tetap bersenang-senang dengan kebiasaannya walaupun di berbagai belahan nusantara ini silih berganti terjadi musibah. Karena mereka tanpa merasa bersalah atas terjadinya musibah. Fenomena seperti ini adalah sebuah potret nyata kehidupan bangsa kita akhir-akhir ini. Sebagai contoh, mulai bencana tsunami di Aceh akhir 2004, sampai sekarangpun tidak ada tanda-tanda akan perubahan pola hidup para penikmat penyakit sosial tersebut. Hal ini karena setiap terjadi bencana, penjelasannyan dominan dilakukan dengan pendekatan ilmiah. Editorial Metro.tv hari jum’at 2 Oktober dengan tema gempa di ranah Minang, penanya dominan mengaitkan bencana tersebut dengan perilaku manusia, tapi penjelasan dari metro masih tetap dominan dengan pendekatan ilmiah. Respon terhadap pertanyaan yang diajukan penanya hanya dipandang sebagai suatu takdir.

Pendekatan ilmiah terhadap suatu musibah terutama gempa tentu sangat diperlukan. Pengetahuan masyarakat tentang gempa akan bermuara misalnya pada pendirian bangunan-bangunan yang anti gempa, peringatan dini dan lain sebagainya. Tapi hal-hal yang bersifat non ilmiah saat ini juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama bagi kalangan politisi dan para pejabat pemerintah. Karena secara jujur bangsa ini semakin disulitkan oleh sikap oknum-oknum politisi dan perilaku arogansi sebagian penguasa. Mereka zalim terhadap rakyat seolah tanpa menyadarinya. Dihadapan kita, pemerintah terang-terangan mempertontonkan ketidak berpihakan kepada rakyatnya. Begitu mudah menguncurkan dana Rp.6,7 triliun untuk menyelamatkan Bank Century yang nyata-nyata pengelolanya melakukan tindakan kriminal menjual obligasi palsu. Sebaliknya, pemerintah terkesan melakukan pembiaran atas keterlambatan ganti rugi bagi sekitar 8000 penduduk korban Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Saat korban gempa di Tasikmalaya masih hidup di bawah tenda-tenda pengungsian, di gedung DPR-MPR Senayan Jakarta telah menunggu para politisi yang terpilih jadi aleg untuk menikmati dana pelantikan yang digelontorkan pemerintah sejumlah Rp.46 milyar yang kalau dibagi rata akan mendapatkan 70 juta perorang. Dalam kasus ini, lagi-lagi Allah memberikan teguran sebelum perhelatan ini dilakukan dengan gempa-Nya di ranah Minang.

Rintihan, tangisan, dan jeritan saudara-saudara kita serta pemandangan reruntuhan bangunan dan gedung yang di dalamnya masih terdapat ribuan korban yang belum dievakuasi di ranah Minang, sudah mengharuskan kita untuk melakukan perubahan paradigma dalam menyikapi bencana yang terjadi. Justifikasi bahwa bencana terjadi adalah karena ” faktor alam ” sudah perlu pengurangan porsinya. Coba sedikit redam keangkuhan keilmuan kita seolah dengan ilmu yang kita miliki dapat menyelesaikan segala problem yang dihadapi bangsa ini. Penekanan bahwa perilaku manusia adalah ikut andil terjadinya suatu musibah perlu disosialisasikan kepada seluruh anak bangsa untuk saat sekarang ini. Hal ini bukan sesuatu yang mengada-ada tapi sangat relevan dengan pendapat yang sering dikutip oleh para ahli agama bahwa ada perilaku maksiat yang secara terang-terangan dilakukan manusia dapat mengundang azab Allah yaitu, kezaliman penguasa, minum alkohol (mabu-mabukan), main judi, main wanita/melacur (seks bebas), maling (korupsi). Sekarang tinggal kita menilai secara jujur, sudah sejauh mana anak bangsa ini melakoni keempat jenis perilaku di atas. Kalau jawabannya tidak, maka pembenaran bahwa bencana yang terjadi selama ini adalah karena faktor alam semakin kuat. Sebaliknya kalau jawabannya ya, maka anjuran pak Amin saat awal krismon di negeri ini tahun 1997 untuk ”tobat nasional” perlu dianjurkan kembali. ” Jika sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa kepada-Ku, maka akan Kucurahkan berkah dari langit maupun dari bumi, tapi karena mereka mendustakan akan ayat-ayat-Ku, maka Kutimpakan azab kepada mereka karena akibat perbuatan yang mereka lakukan (Qur’an)”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar